NO


KODE WILAYAH
NAMA KECAMATAN



1 330601   GRABAG


2 330602   NGOMBOL


3 330603 PURWODADI


4 330604 BAGELEN


5 330605 KALIGESING


6 330606 PURWOREJO


7 330607 BANYUURIP


8 330608 BAYAN


9 330609 KUTOARJO


10 330610 BUTUH


11 330611 PITURUH


12 330612 KEMIRI


13 330613 BRUNO


14 330614 GEBANG


15 330615 LOANO


16 330616 BENER







1. Letak Geografis

Kabupaten Purworejo terletak pada posisi 109o 47’28” – 110o 8’20” Bujur Timur dan  7o 32’ – 7o 54 Lintang Selatan




2. Iklim

Secara topografis merupakan wilayah beriklim tropis basah dengan suhu antara 19 C – 28 C, sedangkan kelembaban udara antara 70% - 90% dan curah hujan tertinggi pada bulan Desember 311 mm dan bulan Maret 289 mm




3. Luas Wilayah


Kabupaten Purworejo memiliki luas 1.034,81752 km2 dengan batas wilayah

- Sebelah barat : Kabupaten Kebumen

- Sebelah utara : Kabupaten Magelang dan Wonosobo

- Sebelah timur : Kabupaten Kulonprogo (DIY)

- Sebelah selatan : Samudra Indonesia

Konon pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.

Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro
Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “Parahiyangan”. Atau para hyang berada.Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.


Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.


UPACARA PERTAMA

Pada tanggal 5 Oktober 901 M di Boro Tengah Dilakukan upacara, dimana upacara tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak.
Sehingga Peristiwa 5 Otober 901 M itu akhirnya ditetap kan dalam sebuah sidang DPRD Kabupaten Purworejo tanggal 5 Oktober 1994 ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
(sumber buku potensi wisata purworejo)


Demikian Sedikit cuplikan sejarah Bibit Kawit asal muasal kota Purworejo kita, Sungguh sangat berharga sekali sejarah yang terkandung di kota purworejo ini.
Tetapi melihat kenyataan sekarang Monumen Arahiwang tersebut tidak begitu diperhatikan dan kurang nya perawatan, kerusakan dan sampah yang berserakan, lampu lampu penerang yang rusak pecah...sama sekali tidak ada perhatian...ini menunjukan bahwa kita tidak menghargai sejarah...Bahkan mungkin monumen itu dibersihkan sekali dalam setahun ditiap tiap akan diadakanya peringatan hari jadi kota Purworejo...